Judul buku : Ning di Bawah Gerhana, 17 Cerita Pendek
Penulis : Erni Aladjai
Penerbit : Bumen Pustaka Emas
Halaman : 154
ISBN : 978-602-18849-2-8
Cetakan I : Februari 2013
Sebuah buku berisi kumpulan cerpen karya Erni Aladjai ini mengisahkan banyak tragedi dan cerita unik yang pendek dan begitu membuat kulit terasa dihempas angin laut, begitu nyata terdengar, seperti dongeng seseorang yang kesepian lalu ia mendongeng pada teman, sahabat, anak, dan orang yang baru dikenalnya. Benar – benar membawa bau garam kedalam kamar pembaca.
Terdiri dari 17 Cerita pendek, masing – masing memiliki kisah, masalah, dan cerita khasnya. Sejenak memang seperi membaca Indonesia. Berwisata ke sebuah negeri laut, kedaerahan, maritim, dan bau laut yang menempel. Buku ini mengambil judul Ning di Bawah Gerhana yang merupakan judul cerpen di halaman 135. Ada pertanyaan besar, Mengapa judul ini diambil untuk sebuah judul buku? Padahal masih ada 16 cerita pendek lainnya. Jika kamu membaca semua cerita pendek dalam buku ini kamu akan segera mengerti mengapa judul ini dipilih.
Erni Aladjai berjanji pada dirinya untuk menjadi tukang cerita dan penabung buku. Ia berjanji hingga buku ini selesai ia tulis. Dan jika kamu membaca dibagian Pengantar dari Tukang Cerita kamu makin yakin Erni Aladjai adalah seorang penulis yang tidak perlu kamu baca biografinya karena menurut saya karyanya adalah dirinya sesungguhnya. Seperti laut yang dalam kelihatannya tenang dan biru namun menghanyutkan pada akhirnya. Seperti itulah karyanya, tenang, sederhana namun mengejutkan ketika membacanya.
Berikut penggalan – penggalan pengalaman ketika membaca cerpen – cerpen yang tergabung di dalam buku Ning di Bawah Gerhana:
Halaman 1: Sam Po Soei Soe, Si Juru Masak
Suasana laut, sejarah dan budaya Indonesia langsung memberikan sebuah imajinasi untuk mengawali buku ini. Mungkin awalnya kamu akan merasa semua cerita pendek dalam buku ini akan berbicara tentang sejarah dan Nenek Moyang kita yang konon merupakan pelaut itu. Namun tidak.
Sudah kau temukan pelabuhanmu. Di tanah mana pun kau bermukin, itu adalah kampung halamanmu, kita semua sama berdarah merah!
Halaman 11:Rum
Kekuatan cinta seorang perempuan yang menunggu. Menunggu kisah – kisah menyedihkan yang diceritakan oleh lelakinya. Mencintai sosok dewasa yang dekat dengan hutan, sawit dan kebaikan.
Bagi Saurin menunggu lelaki itu pulang, serupa menunggu Tuhan mengabulkan doanya. Selalu penuh rahasia dan kejutan.
Halaman 19: 16 Peti
Ada sosok Bung Hatta dan seperti membaca kisah Nyai Ontosoroh. Cerpen ini membuat aku percaya mungkin kala itu perempuan sangat ingin menjadi pintar.
Kutinggalkan suamiku, Jumati, karena ternyata ia lebih mencintai burung perkututnya ketimbang aku.
Halaman 27: Paus Yang Terdampar
Jika memang paus – paus di lautan bisa berucap layaknya manusia, mungkin mereka akan menulis banyak surat untuk manusia, cerita petualangan, dan buku – buku kelautan. Diceritakan oleh ikan Paus, cerpen ini begitu memberikan imajinasi sebuah ide lain bagi para pembaca yang terinspirasi.
Hidup rupanya hanya daur ulang; Kebahagiaan, Ketakutan, Bergantian tak terduga
Halaman 35: Lelaki dan Kopi
Cerita pendek ini memberikan suasana yang memang kebanyakan penggila kopi lakukan. Tidak bisa hidup tanpa kopi. Penulisnya membuatnya terlihat seperti perbincangan biasa, namun di dalam secangkir kopi itulah para lelaki pencinta kopi menikmati hidupnya. Bahkan ketika ingin pergi dari rasa rapuhnya.
Baginya warung kopi adalah tempat ia bersembunyi dari kesunyian keruwetan masalah, juga kekecewaan pada perempuan
Halaman 43: Kota Kenangan
Sering sebuah kota memberikan kenangan pada manusia yang tinggal maupun datang ke kota itu. Ada sebuah magnet, sering orang mengatakan seperti itu. Seperti sebuah pengalaman, cerita pada bagian ini begitu jujur kadang menyenangkan kadang begitu menyeramkan.
Dia menyukai kota kecil itu. Sungguh. Taka da yang bisa membujuknya untuk meninggalkan kota itu, tak juga kekasihnya di Jakarta
Halaman 53: Pohon Batu
Entah batu ini memang benar ada atau hanya sebuah imajinasi penulisnya. Sindiran – sindiran begitu nyata terdengar. Layaknya realita yang diberitakan kepada anaknya nanti, ada sebuah pesan penting dari cerpen ini.
Halaman 63: Pohon Beringin yang Menangis
Jika membaca cerpen ini yang terbayang adalah sebuah desa dengan beringin besar di tengah – tengah desa. Seperti di Bali cerita pendek ini menceritakan dongeng – dongeng dan kebiasaan masyarakat Bali. Namun ini sepertinya bukan berlatar di Bali.
Pohon beringin dan anak itu benar – benar bersedih
Halaman 71: Nini Ingin Pulang Saum
Tertulis jelas di cerita pendek ini tantang rindu seorang Ibu pada rumahnya, kampung halamannya.
Banyak nyamuk, tak bisa nyenyak. Besok carilah sabut kelapa. lalu buatlah asapan di belakang rumah, biar nyamuk – nyamuknya mabok dan kapok datang, ” kata Ibu
Halaman 81: Pak Pengkong
Cerita tentang sosok kakek pelupa yang menjual bantal buatan istrinya. Selalu datang ke rumah warga untuk menjual bantal hingga suatu hari datang ke seorang Ibu dan Anak dan meminta minum. Kakek itu selalu datang hingga Ibu dan anak itu pergi ia masih datang kerumah lama mereka.
Kakek itu pernah dilaporkan ke Pak RT, karena sering mengetuk pintu rumah si montir saat tengah malam
Halaman 89: Ikan Bobara
Suka sekali ketika membaca cerpen ini, kisah hidup pasangan suami istri yang tinggal di pesisir. Istrinya sedang hamil dan ingin memakan Ikan yang bernama ikan Barbora yang harus didapatkan oleh suaminya.
Doanya hari itu, ia pulang dengan seekor ikan bobara di musim barat
Halaman 101: Neneidaba
Kalian harus membaca cerita pendek ini. Cerita tentang pelindung hutan dan masalahnya dengan para penebang dan pencemar sungai.
Ini sudah cukup, kami sudah kehilangan tanah adat, hutan dan satwa, kami tak mungkin kehilangan anak – anak
Halaman 109: Ikan Woku untuk Ulma
Seorang Ibu tidak akan bisa melihat kesedihan anaknya. Apapun yang anaknya minta, seorang Ibu akan berusaha untuk mewujudkannya. Cerita ini begitu memilukan, jika kamu membaca ini dan pernah merasakan masa kecil seperti ini, maka peluklah Ibumu segera. Kisah sedih juga kembali dibubuhkan oleh penulis di bagian akhir cerita ini.
Tubuh Andola nyaris ambruk, air mata menggenang di pelupuk matanya. Di dapur, Ulma begitu menikmati ikan kuah woku buatan ibunya.
Halaman 119: Sang Penyembuh
Kejadian pada cerita pernah terjadi dan banyak sekali terjadi di masyarakat Indonesia. Penulis menceritakannya layak sebuah dongeng tentang penyembuh yang hidup di masa lalu. Makin dalam kamu membacanya, makin tidak tahan untuk membaca cerpen berikutnya.
Halaman 127: Tondeng
Cerita tentang orang gila yang ternyata bukan orang gila. Pura – pura gila. Saking bencinya dia dengan hal – hal yang tidak disukainya, ia pun menjadi orang gila.
Lebih baik saya pura – pura gila saja daripada diperintah kerja bakti, kalau orang gila kan bebas kerja bakti
Halaman 135: Ning di Bawah Gerhana
Memilukan dan sedih mendengar cerita ini. Kisah keluarga yang terdiri dari Ibu yang tua dan anak perempuan yang cacat dan hingga usia dewasanya belum juga ada yang meminang. Ibunya tetap berusaha walaupun cerita – cerita buruk menempa mereka.
……. Tubuh telanjang Ning mencangkung di pinggir tempayan. Inilah waktunya, ” bisik si perempuan tua.
Halaman 143: Air Mata Duyung
Duyung selalu menjadi binatang yang misterius. Begitu juga pelaut dan kisah – kisahnya. Selalu menjadi cerita yang asyik untuk ditulis. Sudah banyak ada tulisan tentang duyung, tetapi cerita ini berbeda.